Sunday, May 5, 2013

MEMAKNAI PERJALANAN HIDUP


MEMAKNAI PERJALANAN HIDUP

Sesungguhnya Allah telah menetapkan bahwa pada hakikatnya perjalanan hidup manusia di alam dunia ini sangatlah singkat dan sangat terbatas, sebagaimana dinyatakan-Nya dalam firman-Nya, Qs. Al Mu’minun, 23 : 112 – 114 yang berbunyi :


“Allah bertanya: "Berapa tahunkah lamanya kamu tinggal di bumi?" Mereka menjawab: "Kami tinggal (di bumi) (kurang lebih) sehari atau setengah hari, maka tanyakanlah kepada orang-orang yang menghitung." Allah berfirman: "Kamu tidak tinggal (di bumi) melainkan sebentar saja,
jika sesungguhnya kamu adalah orang-orang yang mengetahui"

Ayat tersebut memberikan gambaran tentang beberapa kejadian di alam akhirat kelak bahwa kelak manusia akan mengalami kebingungan tentang berapa lama ia menetap dan tinggal di bumi, karena semua kejadian yang telah dilaluinya akan teringat dan terekam dengan begitu cepat, seakan-akan ia tinggal di dunia hanya sesaat, apakah sehari penuh atau mungkin lebih singkat dari itu, kira-kira setengah hari saja. Hal tersebut memberikan bukti bahwa memang pada kenyataannya, Allah telah menetapkan bahwa umur serta kesempatan hidup yang diberikan Allah kepada manusia di alam dunia ini sangatlah terbatas, tidak lebih dari sehari atau setengah hari. Karena sunnatullah menggariskan bahwa ukuran satu hari di akhirat (di sisi Allah) adalah seperti seribu tahun menurut perhitungan manusia di dunia, sebagaimana dinyatakan didalam Qs. Al Hajj, 22 : 47 yaitu :

  “Sesungguhnya sehari disisi Rabb-mu adalah seperti seribu tahun menurut perhitunganmu.”

Tugas Pokok Hidup

Ayat-ayat di atas sebenarnya bertujuan untuk menggugah hati dan fikiran manusia tentang proses perjalanan hidupnya di alam dunia ini, bahwa sebenarnya kesempatan hidup yang diberikan Allah tersebut sangatlah singkat, tak ubahnya seperti tanaman yang ditumbuhkan Allah di atas muka bumi, dimana masing-masingnya mengalami pertumbuhan yang beraneka ragam, baik jenisnya maupun warnanya, kemudian menjadi kering, layu, dan akhirnya jatuh berguguran dan hancur bercerai berai. Semua itu sengaja Allah paparkan secara rinci kepada manusia, agar kiranya waktu yang disediakan Allah untuk mengarungi hidup di alam dunia yang serba fana ini. Hal tersebut telah diingatkan Allah dalam firman-Nya, Qs. Az Zumar, 39 : 21, yang berbunyi :


 “Apakah kamu tidak memperhatikan, bahwa sesungguhnya Allah menurunkan air dari langit, maka diaturnya menjadi sumber-sumber air di bumi kemudian ditumbuhkan-Nya dengan air itu tanam-tanaman yang bermacam-macam warnanya, lalu (ia) menjadi kering, lalu kamu melihatnya (menjadi) kekuning-kuningan, kemudian dijadikan-Nya hancur berderai-derai. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal.”

Dengan isyarat yang begitu jelas tersebut, maka sudah selayaknya bagi setiap pribadi muslim betul-betul mampu memanfaatkan masa hidupnya yang singkat ini dengan sebaik-baiknya, khususnya dalam rangka menyempurnakan proses pengabdiannya kepada Allah. Mengingat bahwa pada dasarnya manusia diciptakan Allah ke atas muka bumi ini tiada lain adalah semata-mata untuk beribadah kepada-Nya, sebagaimana disebutkan di dalam firman-Nya, Qs. Adz Dzariyat, 51 : 56 yang berbunyi :


 “dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.”

dimana batas akhir pengabdian tersebut adalah saat dimana masing-masing diri manusia menjumpai saat kematiannya (Qs. Al Hijr, 15 : 99). Karena itu, yang seharusnya menjadi fokus perhatian dalam hidup ini sebenarnya, bukanlah persoalan harta benda, bagaimana memperolehnya dan hendak kemana membelanjakannya. Bukan pula berkutat pada persoalan bagaimana meraih kedudukan, pangkat, jabatan, dan kehormatan di mata manusia. Bukan pula sebatas memikirkan bagaimana mengasuh, membesarkan dan membiayai pendidikan sang anak. Atau hal-hal lainnya, yang terkadang justru menyita waktu, fikiran, dan menguras tenaga kita.
Sebenarnya, persoalan yang paling pokok dan paling mendasar dalam hidup ini adalah persoalan ibadah. Sudahkah hidup ini betul-betul diarahkan dan dimanfaatkan untuk beribadah kepada-Nya? Karena itu, janganlah kita terlena dan lalai, hanya karena terbuai dengan gemerlapnya kehidupan duniawiyah. Jangan pula menjadi lengah dan berpaling, hingga menjerumuskan kita kedalam tindakan-tindakan yang justru berbau dan berbalut kesyirikan dan kedurhakaan, termasuk didalamnya adalah mencampurbaurkan antara masalah Islam dengan hasil imajinasi fikiran (al fikr), dorongan perasaan (al wijdan), atau munculnya hasrat dan kemauan (al irodah), karena semua itu justru akan mendatangkan malapetaka dan mengundang kemurkaan dari Allah. Mengingat betapa pentingnya persoalan ibadah dan kebersihannya tersebut, hingga disaat Nabi Ya’qub akan wafat pun masih merisaukannya kepada anak-anaknya (Qs. Al Baqarah, 2 : 133).
Yang penting untuk difahami adalah wujud dari pelaksanaan ibadah tersebut tiada lain adalah dengan menepati jalan atau syari’at yang telah ditetapkan-Nya, yaitu Ad Diinul Islam. Karena, tidaklah sah dan diterima pengabdian seorang hamba manakala tidak menyesuaikan diri dengan tuntunan dari-Nya (Al Qur’an), serta menepati jalan hidup yang telah ditetapkan-Nya, yaitu Al Islam. Segala bentuk ‘amaliyah yang tidak bersumber dari Ketentuan-Nya pasti akan dibathilkan-Nya, dan kelak di akhir perjalanan hidupnya justru akan mengalami kerugian dan penyesalan yang berkepanjangan (Qs. Ali Imran, 3 : 85). Karena itu, kemana seharusnya hidup ini diarahkan?? Yang jelas, mati itu adalah suatu kepastian.

No comments:

Post a Comment

Powered by Blogger.

Risalah Islam eL-MUQOFFA

Template Hits

PopularPosts

Followers