MEMAKNAI PERJALANAN HIDUP
Sesungguhnya Allah telah menetapkan bahwa pada
hakikatnya perjalanan hidup manusia di alam dunia ini sangatlah singkat dan
sangat terbatas, sebagaimana dinyatakan-Nya dalam firman-Nya, Qs. Al Mu’minun, 23 : 112 – 114 yang
berbunyi :
“Allah bertanya: "Berapa tahunkah lamanya kamu tinggal di
bumi?" Mereka menjawab: "Kami tinggal (di bumi) (kurang lebih) sehari
atau setengah hari, maka tanyakanlah kepada orang-orang yang menghitung."
Allah berfirman: "Kamu tidak tinggal (di bumi) melainkan sebentar saja,
jika sesungguhnya kamu adalah orang-orang yang mengetahui"
Ayat tersebut memberikan gambaran tentang beberapa
kejadian di alam akhirat kelak bahwa kelak manusia akan mengalami kebingungan
tentang berapa lama ia menetap dan tinggal di bumi, karena semua kejadian yang
telah dilaluinya akan teringat dan terekam dengan begitu cepat, seakan-akan ia
tinggal di dunia hanya sesaat, apakah sehari penuh atau mungkin lebih singkat
dari itu, kira-kira setengah hari saja. Hal tersebut memberikan bukti bahwa
memang pada kenyataannya, Allah telah menetapkan bahwa umur serta kesempatan
hidup yang diberikan Allah kepada manusia di alam dunia ini sangatlah terbatas,
tidak lebih dari sehari atau setengah hari. Karena sunnatullah menggariskan bahwa ukuran satu hari di akhirat (di sisi
Allah) adalah seperti seribu tahun menurut perhitungan manusia di dunia,
sebagaimana dinyatakan didalam Qs. Al
Hajj, 22 : 47 yaitu :
“Sesungguhnya sehari disisi Rabb-mu adalah
seperti seribu tahun menurut perhitunganmu.”
Tugas Pokok Hidup
Ayat-ayat di atas sebenarnya bertujuan untuk menggugah hati dan fikiran
manusia tentang proses perjalanan hidupnya di alam dunia ini, bahwa sebenarnya kesempatan hidup yang diberikan Allah tersebut
sangatlah singkat, tak ubahnya seperti tanaman yang ditumbuhkan Allah di atas
muka bumi, dimana masing-masingnya mengalami pertumbuhan yang beraneka ragam,
baik jenisnya maupun warnanya, kemudian menjadi kering, layu, dan akhirnya
jatuh berguguran dan hancur bercerai berai. Semua itu sengaja Allah paparkan secara
rinci kepada manusia, agar kiranya waktu yang disediakan Allah untuk mengarungi
hidup di alam dunia yang serba fana ini. Hal tersebut telah diingatkan Allah dalam
firman-Nya, Qs. Az Zumar, 39 : 21,
yang berbunyi :
“Apakah kamu tidak memperhatikan,
bahwa sesungguhnya Allah menurunkan air dari langit, maka diaturnya menjadi
sumber-sumber air di bumi kemudian ditumbuhkan-Nya dengan air itu tanam-tanaman
yang bermacam-macam warnanya, lalu (ia) menjadi kering, lalu kamu melihatnya (menjadi)
kekuning-kuningan, kemudian dijadikan-Nya hancur berderai-derai. Sesungguhnya
pada yang demikian itu benar-benar terdapat pelajaran bagi orang-orang yang
mempunyai akal.”
Dengan isyarat yang begitu jelas tersebut, maka sudah
selayaknya bagi setiap pribadi muslim betul-betul mampu memanfaatkan masa
hidupnya yang singkat ini dengan sebaik-baiknya, khususnya dalam rangka
menyempurnakan proses pengabdiannya kepada Allah. Mengingat bahwa pada dasarnya
manusia diciptakan Allah ke atas muka bumi ini tiada lain adalah semata-mata
untuk beribadah kepada-Nya, sebagaimana disebutkan di dalam firman-Nya, Qs. Adz Dzariyat, 51 : 56 yang berbunyi
:
“dan tidaklah Aku ciptakan jin dan
manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.”
dimana batas akhir pengabdian tersebut adalah saat dimana masing-masing
diri manusia menjumpai saat kematiannya (Qs.
Al Hijr, 15 : 99). Karena itu, yang seharusnya menjadi fokus perhatian
dalam hidup ini sebenarnya, bukanlah persoalan harta benda, bagaimana
memperolehnya dan hendak kemana membelanjakannya. Bukan pula berkutat pada persoalan
bagaimana meraih kedudukan, pangkat, jabatan, dan kehormatan di mata manusia. Bukan
pula sebatas memikirkan bagaimana mengasuh, membesarkan dan membiayai
pendidikan sang anak. Atau hal-hal lainnya, yang terkadang justru menyita waktu,
fikiran, dan menguras tenaga kita.
Sebenarnya, persoalan yang paling pokok dan paling
mendasar dalam hidup ini adalah persoalan ibadah. Sudahkah hidup ini
betul-betul diarahkan dan dimanfaatkan untuk beribadah kepada-Nya? Karena itu,
janganlah kita terlena dan lalai, hanya karena terbuai dengan gemerlapnya kehidupan
duniawiyah. Jangan pula menjadi lengah dan berpaling, hingga menjerumuskan kita
kedalam tindakan-tindakan yang justru berbau dan berbalut kesyirikan dan
kedurhakaan, termasuk didalamnya adalah mencampurbaurkan antara masalah Islam
dengan hasil imajinasi fikiran (al fikr),
dorongan perasaan (al wijdan), atau
munculnya hasrat dan kemauan (al irodah),
karena semua itu justru akan mendatangkan malapetaka dan mengundang kemurkaan
dari Allah. Mengingat betapa pentingnya persoalan ibadah dan kebersihannya tersebut,
hingga disaat Nabi Ya’qub akan wafat pun masih merisaukannya kepada
anak-anaknya (Qs. Al Baqarah, 2 : 133).
Yang penting untuk
difahami adalah wujud dari pelaksanaan ibadah tersebut tiada lain adalah dengan
menepati jalan atau syari’at yang telah ditetapkan-Nya, yaitu Ad Diinul Islam. Karena, tidaklah sah
dan diterima pengabdian seorang hamba manakala tidak menyesuaikan diri dengan
tuntunan dari-Nya (Al Qur’an), serta
menepati jalan hidup yang telah ditetapkan-Nya, yaitu Al Islam. Segala bentuk ‘amaliyah yang tidak bersumber dari
Ketentuan-Nya pasti akan dibathilkan-Nya, dan kelak di akhir perjalanan
hidupnya justru akan mengalami kerugian dan penyesalan yang berkepanjangan (Qs. Ali Imran, 3 : 85). Karena itu, kemana seharusnya hidup ini diarahkan??
Yang jelas, mati itu adalah suatu kepastian.
No comments:
Post a Comment